Asal usul Nama Banjarnegara dan Sejarah Banjarnegara Wilayah yang di Juluki Kota Dawet Ayu
Banjarnegara adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah . Luas wilayahnya yang mencapai 1.069,73 km2 terbagi menjadi 20 kecamatan, 12 kelurahan, dan 266 desa. Dari beberapa wilayah yang dimilikinya itu, Banjarnegara berbatasan dengan beberapa Kabupaten seperti : Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang di sebelah utara, Kabupaten Wonosobo di sebelah timur, Kabupaten Kebumen di sisi selatan, serta Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purbalingga di sebelah barat.
1.Periode Banjar Pertambakan
Kabupaten Banjarnegara mengalami tiga periodesasi, dimulai dari Banjar Petambakan (1582-1780) yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang. Pendiriannya berkaitan dengan Raden Joko Kaiman yang merupakan menantu Adipati Wirasaba atau Adipati Wargahutama I. Lalu setelah Adipati Wargahutama I meninggal, Joko Kaiman kemudian melanjutkan pemerintahan di Kadipaten Wirasaba dengan gelar Adipati Wargahutama II.
Atas izin dari Raja Sultan Hadiwijaya di ajang, Raden Joko Kaiman melakukan pembagian wilayah kekuasaan Wirasaba menjadi 4 wilayah, yaitu : Wirasaba, Merden, Kejawar dan Banjar Petambakan. Diketahui Peristiwa pembagian ini terjadi pada tanggal 6 April 1582 M, oleh karenanya tanggal tersebut kemudian menjadi “permulaan” sejarah pemerintahan Banjar Petambakan.
Pada periode Kadipaten Banjar Petambakan, pada saat itu telah mengalami pergantian Adipati sebanyak 12 kali masa kepemimpinan. Dari sekian banyaknya pemimpin kota Banjar Petambakan, terdapat beberapa pemimpin yang menjadikan wilayah Kadipaten ini memiliki kemajuan. Pada perode Banjar Petambakan mencerminkan perkembangan social dan ekonomi yang signifikan dalam Sejarah kabupaten Banjarnegara
2. Periode Banjarwatulembu
Periode Pemerintahan Banjarwatulembu berlangsung dari 1780 hingga 1831. Tidak seperti periode Banjar Pertambakan, periode Banjar Watu Lembu hanya diperintah oleh dua masa kepemimpinan saja yakni, KRT Mangunyudo dan KRT Kertoyudo. Periode ini ditandai dengan pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten dari timur ke barat Sungai Merawu, sekitar Balai Desa Banjarkulon. Pada periode ini, hanya ada dua bupati, yaitu KRT Mangunyuda dan KRT Kertoyudo.
KRT Mangunyuda fokus pada pembangunan dan kerjasama dengan Bupati Purbalingga untuk memajukan bidang perencanaan, perdagangan, dan pertanian. Ia juga mengikuti pelatihan manajemen di Surabaya untuk meningkatkan pemasaran produk unggulan daerah seperti gula kelapa. Mangunyuda dikenal sebagai sosok patriotik dan meninggal saat bertempur membela Raja Surakarta, sehingga dikenang sebagai pahlawan.
Setelah KRT Mangunyuda, kepemimpinan dilanjutkan oleh KRT Kertoyudo, yang dikenal sebagai RNg Mangunyudo II, dan kemudian RNg Mangudyudo III atau RNg Mangubroto. Periode Banjar Watu Lembu ini berakhir bersamaan dengan surutnya Perang Diponegoro. Kala itu berakhirnya Perang Diponegoro menghasilkan beberapa perubahan-perubahan konstelasi politik di dalam Keraton dan kekuasaan di daerah. Termasuk pengaruhnya di Wilayah Kilen, yakni Karesidenan Banjoemas yang mencakup Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara.
3. Periode Banjarnegara
Setelah Perang Diponegoro, pada 22 Agustus 1831, Gubernur Jenderal menetapkan KRT Dipayuda IV sebagai Bupati Banjarnegara. Peristiwa ini diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara.
Namun, ada pihak yang mengajukan keberatan untuk menjadikan Hari Jadi pada momen lebih tua, seperti Peristiwa Mrapat atau Peristiwa Mangunyuda Sedoloji.
Nama Kabupaten diubah dari Banjarwatulembu menjadi Banjarnegara setelah proses meditasi spiritual. Kemudian ibu kotanya juga dipindahkan ke selatan Sungai Serayu. Setelah permintaan itu dikabulkan, maka mulailah pembangunan kota atau kabupaten yang berada di sekitar persawahan. Untuk mengenang asal mula kota kabupaten baru yang terbentul dari lokasi persawahan itu, maka wilayah barunya tersebut diberi nama “BANJARNEGARA” (MEMPUNYAI MAKSUD Sawah = Banjar, berubah menjadi kota = Negara) sampai sekarang.
KRT Dipayuda IV menjalankan pemerintahan dengan dibantu pejabat lainnya, seperti Mas Cakrayuda sebagai Patih dan Mas Mangunyudo sebagai Kliwon. Setelah KRT Dipayuda IV, beberapa bupati melanjutkan pemerintahan, termasuk KRT Djayadiningrat dan KRT Joyonegoro I, hingga penjabat bupati terakhir yang dilantik pada Mei 2024 kemarin, Muhamad Masrofi.
Sebagai informasi lanjutan, untuk hari jadi Banjarnegara terdapat perubahan. Yang sebelumnya pada tanggal 22 Agustus 1831 menjadi 26 Februari 1571, ditetapkan berdasarkan penelusuran dan pengkajian dokumen sejarah dan studi komparasi yang dijadikan dasar perubahan hari jadi Kabupaten Banjarnegara. Penelitian yang dilakukan oleh sejarawan, Profesor Sugeng Priyadi, menjadi gagasan penting bahwasanya kelahiran Kabupaten Banjarnegara berkaitan dengan sejarah nenek moyang, bukan berdasarkan kolonialisme. Perubahan ini berdasarkan pengkajian pada Babad Kalibening yang menjadi sumber sejarah masyarakat Banyumas.
Pada 22 Agustus 1831 silam, kekuasaan Belanda secara administratif mulai berlaku di wilayah Banjarnegara. Hal ini dibuktikan dengan adanya Resolutie Governoer General Buitenzorg pada 22 Agustus 1831, yang dianggap sebagai dasar penetapan hari jadi Kabupaten Banjarnegara di bawah kendali kolonial Belanda. Perubahannya menjadi 26 Februari, dilatarbelakangi peristiwa terdahulu pada Babad Banyumas ketika Raden Jaka Kaiman yang diangkat oleh Sultan Panjang menjadi Adipati Warga Utama II menggantikan mertuanya, Adipati Warga Utama I dengan gelar Adipati Wirasaba IV.
Pada Babad Kalibening yang juga merupakan sumber sejarah Banyumas, disebutkan bahwa pada Senin Pon 1 Syawal 978 Hijriah bertepatan dengan 26 Februari 1571. Setelah menobatkan menantu Adipati Wirasaba, yaitu Raden Joko Kaiman, Sultan Pajang membagi wilayah Kadipaten Wirasaba menjadi 4 Kadipaten yang meliputi Kadipaten Banyumas, Kadipaten Pamerden, Kadipaten Wirasaba, dan Kadipaten Banjar Petambakan (Banjarnegara). Bersamaan dengan pembagian wilayah tersebut, Raden Joko Kaiman mendapatkan gelar Adipati Mrapat (mara papat: membagi empat).
Prof. Dr. Sugeng Priyadi, Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiah Purwokerto, berpendapat bahwa gagasan pembagian wilayah tersebut diungkapkan Joko Kaiman pada 1 Syawal 978 H atau 26 Februari 1571. Pembagian wilayah tersebut sebagai dasar awal penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Banjarnegara.
Berdasarkan kajian mendalam mengenai sejarah yang dilakukan oleh Pansus DPRD Banjarnegara, peraturan daerah nomor 3 tahun 1994 yang menetapkan hari jadi Kabupaten Banjarnegara pada tanggal 22 Agustus 1831 tidak berlaku. Sejalan dengan pencabutan perda tersebut, sebagai gantinya diterbitkan peraturan daerah Kabupaten Banjarnegara nomor 6 tahun 2019 tentang Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara yang menetapkan hari Senin, 26 Februari 1571 sebagai hari jadi Kabupaten Banjarnegara. Untuk selanjutnya, dilakukan peringatan setiap tanggal 26 Februari. Peraturan tersebut resmi diberlakukan pada peringatan hari jadi Banjarnegara Ke-449 pada 26 Februari 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar