Jumat, 06 Juni 2025

SEJARAH DAWET AYU

 Sejarah Dawet Ayu 

Dawet Ayu adalah minuman khas dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Minuman ini mudah ditemukan di pasar-pasar tradisional dan di pinggir-pinggir jalan. Es Dawet Ayu asli Banjarnegara rasanya lezat dan segar, sehingga sangat cocok diminum ketika cuaca panas. Dawet Ayu dapat diminum dalam keadaan biasa maupun dingin (dikasih es batu). Rasanya yang segar dan nikmat itulah yang merupakan keistimewaan dan keunikan tersendiri sebagai minuman tradisional khas Banjarnegara.

Di Banjarnegara sendiri, minuman khas ini banyak dijual di pasar-pasar serta di pinggir jalan raya dan di perumahan. Mereka biasanya berjualan hampir setiap hari. Penjual biasanya menggunakan gerobak dengan cara dipikul. Pikulan tersebut dinamakan angkringan dawet ayu atau angdayu. Pada pikulan gerobak tersebut terdapat dua tokoh pewayangan, yaitu Semar dan Gareng. Inilah yang menjadi keunikan sekaligus ciri khas dari Dawet Ayu yang dikenal berasal dari Banjarnegara. Adapun filosofi dari tokoh Semar dan Gareng. Semar itu berarti tidak samar. Selain itu Semar ini juga melambangkan kemakmuran yakni dengan minum dawet ayu rasa haus hilang dan kesegaran pun akan terasa. Sedangkan Gareng yang berarti mareng atau bisa diartikan terang. Melalui lambang Gareng ini penjual berharap agar cuaca selalu terang sehingga dawet ayu yang dijualnya bisa laris.

Dawet Ayu merupakan salah satu maskot Kota Banjarnegara, hal itu terbukti dengan adanya Monumen Dawet Ayu yang berupa gerobak beserta dua orang penjualnya di alun-alun Kota Banjarnegara. Sejarah Dawet Ayu Banjarnegara ini sudah ada sejak tahun 1980. Asal usul Dawet Ayu Banjarnegara berdasarkan cerita tutur turun temurun, ada sebuah keluarga yang berjualan dawet sejak awal abad ke-20. Nama dawet ayu muncul dari pedagang yang bernama Munardjo. Istrinya begitu cantik sehingga dawetnya disebut sebagai dawet ayu. Hingga saat ini dawet ayu Pak Munardjo masih berjualan dan sekarang di tangan generasi ketiga.

Lalu yang menjadikan Dawet Ayu ini terkenal, berawal dari lagu yang diciptakan seniman Banjarnegara bernama Bono yang berjudul "Dawet Ayu Banjarnegara". Pada tahun 1980-an lagu ini dipopulerkan kembali oleh Grup Seni Calung dan Lawak Banyumas Peang Penjol yang terkenal di karesidenan Banyumas pada era 1970-1980-an. Grup lawak dan lagu itulah yang salah satunya ikut andil dalam mempopulerkan Dawet Ayu hingga ke berbagai daerah.

Seiring dengan perkembangan zaman, kini Dawet Ayu tidak hanya dijumpai di Banjarnegara saja tetapi dapat dijumpai pula di kota-kota lain. Sehingga tidak heran jika sekarang Dawet Ayu sudah ditemui di daerah-daerah luar Banjarnegara serta sudah bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat negeri ini. Penjualnya memang belum tentu dari Banjarnegara, tetapi namanya tetap dawet ayu khas Banjarnegara. Namun tetap ada perbedaan dari dawet ayu yang asli dengan dawet ayu yang biasa. Untuk dawet ayu yang asli mereka menggunakan gula asli/ murni dari petani, sedangkan untuk Dawet Ayu biasa mereka menggunakan gula sajuran/campuran. Selain itu, dawet ayu asli menggunakan pandan sebagai pewarna sedangkan dawet ayu yang biasa menggunakan pewarna buatan atau pasta pandan. Ada juga dari santannya. Jika dawet ayu yang biasa menggunakan santan sekaligus yang mereka buat dari rumah dan dibawa ke tempatnya menjual, sedangkan dawet ayu asli Banjarnegara mereka membuat santan dengan sedikit-sedikit langsung tempat menjual sehingga membuat santan tetap segar.

Sebagai tambahan informasi, Dawet Ayu Banjarnegara pernah mendapatkan dua piala penghargaan pada acara Anugerah Pesona Indonesia (API) 2020. Dawet Ayu Banjarnegara ditetapkan sebagai ‘Minuman Tradisional Terpopuler’ meraih Juara 1 pada ajang Anugerah Pesona Indonesia (API) 2020 sekaligus sebagai minuman terfavorit pilihan masyarakat Indonesia pada Minggu 23 Mei 2021.

SEJARAH BATIK GUMELEM

 Sejarah Batik Gumelem 

Sejarah Batik Gumelem

Keberadaan batik di desa Gumelem, Banjarnegara, dimulai sejak Kademangan Gumelem pada tahun 1573. Saat itu, terdapat pembatik yang bertugas membuat kain batik bagi keperluan busana keluarga, kerabat, dan sentana dalem Kademangan. Batik di Gumelem masih terpengaruh dari Banyumas dan Mataram karena wilayah kabupaten Banyumas berbatasan dengan kecamatan Susukan Banjarnegara dan raja Mataram yang memperkenalkan batik di Gumelem.


Perkembangan Batik Gumelem

Kerajinan batik di Banjarnegara belum banyak diketahui oleh masyarakat luas dibandingkan dengan batik-batik di daerah lain seperti Banyumas, Pekalongan, Yogyakarta, dan Solo. Namun, pengusaha batik di desa Gumelem berusaha mengembangkan usaha batik dengan bantuan pemerintah kabupaten Banjarnegara melalui pelatihan, kebijakan wajib memakai pakaian batik pada hari tertentu bagi PNS, dan promosi batik tulis Gumelem. Pusat-pusat kerajinan di Banjarnegara juga mulai mengembangkan desain-desain yang bervariasi terinspirasi dari motif-motif tradisional.


Proses Produksi Batik Gumelem

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat batik di Gumelem diperoleh dari Sokaraja, Yogyakarta, Bandung, dan Solo, seperti kain, malam, dan pewarna. Kain yang sering digunakan adalah kain prima, primisima, dan sunforis karena harganya lebih murah dan kualitasnya baik. Malam yang digunakan ada dua macam, yaitu malam kuning dan hitam. Pewarna yang digunakan ada dua jenis, yaitu pewarna alam dan pewarna sintetis atau kimia.

Alat yang digunakan dalam proses pembuatan batik di Gumelem masih tradisional, seperti kompor kecil untuk membatik, wajan batik, dan canting. Proses pembuatan batik di Gumelem sama dengan proses pembuatan batik di daerah lain, yang membedakan hanya penyebutan nama setiap prosesnya.


Motif Batik Gumelem

Motif batik di Gumelem erat hubungannya dengan daerah Banyumas dan Mataram. Motif yang ada di desa batik Gumelem banyak sekali hingga ratusan, motif-motifnya terpengaruh dari Banyumas dan Mataram. Pengaruh yang dibawa dari Mataram adalah motif dan warna. Motif yang ada di desa batik Gumelem sebenarnya banyak sekali hingga ratusan, motif-motifnya terpengaruh dari Banyumas dan Mataram, karena dahulu pada saat Gumelem masih jadi kademangan rajanya dari Mataram. Warna batik Gumelem khas dengan warna-warna gelap, seperti coklat, biru tua, tapi sekarang juga banyak pembatik yang membuat warna-warna cerah mengikuti permintaan pasar dan tergantung dari konsumen. Motif batik disini ada tiga jenis, motif klasik, kontemporer, dan kombinasi. Motif tradisional cenderung statis dan tidak berubah-ubah, motif kontemporer terinspirasi dari lingkungan sekitar di wilayah Banjarnegara, sedangkan Motif kombinasi biasanya merupakan motif gabungan dari kain bermotif batik yang diambil dari Pekalongan, kemudian di batik ulang dengan batik tulis ataupun batik cap, baik itu menggunakan motif klasik ataupun motif kontemporer.


Fungsi Batik Gumelem

Hasil batik di desa Gumelem memiliki fungsi sesuai dengan jenis produknya, seperti kain panjang untuk jarik, kain bahan baju untuk membuat baju, kain bahan sarung untuk menjadi sarung, taplak meja sebagai perlengkapan interior, dan selendang sebagai pelengkap pakaian.

CANDI ARJUNA

 Candi Arjuna 

Candi Arjuna
Candi Arjuna adalah sebuah bangunan candi Hindu yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia. Candi Arjuna Masuk dalam Kawasan Wisata Kompleks Candi Arjuna yang meliputi, Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa dan Candi Sembadra. Candi Arjuna diperkirakan sebagai candi tertua diperkirakan dibangun pada abad 8 Masehi oleh Dinasti Sanjaya dari Mataram Kuno. Candi Arjuna terletak paling utara dari deretan percandian di kompleks tersebut. Sementara itu, Candi Semar adalah candi perwara atau pelengkap dari Candi Arjuna. Kedua bangunan candi ini saling berhadapan. Kompleks Candi Arjuna, Kompleks Candi Terbesar di Dieng.

Candi Arjuna diperkirakan dibangun pada abad ke-8 Masehi, candi ini dibangun untuk persembahyangan bagi umat Hindu dimasa Mataram Kuno wangsa Sanjaya. Percandian di Dieng merupakan bukti penyebaran agama Hindu tertua di jawa. Candi Arjuna diperkirakan sebagai candi tertua di Jawa. Hal ini ditunjukkan dengan penemuan salah satu prasasti di sekitar Candi Arjuna. Dimana dalam prasasti tersebut tertulis tahun 731 Caka atau sekitar tahun 808 Masehi dengan menggunakan aksara Jawa Kuno.

Sejarah pembangunan candi Arjuna masih belum bisa dipastikan secara detail, karena sangat minimnya sumber – sumber valid yang menjelaskan mengenai asal mula dari candi arjuna ini. Sejarah Candi Arjuna diawali dengan penemuan sebuah prasasti yang berangka tahun 731 Caka atau tahun 808 Masehi. Prasasti tersebut merupakan prasasti tertua dengan tulisan Jawa Kuno. Dari situ, para ilmuwan menyimpulkan bahwa Candi Arjuna dibangun pada pemerintahan raja-raja Wangsa Sanjaya. Di sekitar kawasan candi arjuna juga ditemukan arca dewa Syiwa yang saat ini di simpan di Museum Nasional Jakarta.

Kompleks candi di Dieng terutama candi Arjuna ditemukan pertama kali pada abad ke 19 tepatnya di tahun 1814. Dimana ditemukan oleh seorang tentara Belanda yang bernama Thedorf Van Elf. Ketika itu, candi Arjuna masih tergenang air saat Elf menemukanya. Kemudian baru 40 tahun kemudian upaya pemeliharaan candi Arjuna di lakukan, Pemeliharaan ini dimulai dengan mengeringkan air telaga di dieng oleh HC Cornelius yang berkebangsaan inggris, tepatnya pada tahun 1856. Kemudian dilanjutkan lagi oleh J Van Kirnsberg yang berkebangsaan Belanda dengan dibantu oleh pemerintahan Hindia-Belanda saat itu. Setelah upaya pengeringan telaga dan juga pembersihan selesai, Kemudian Van Kirnsberg mengambil beberapa gambar dan juga catatan mengenai candi Arjuna pada awal penemuan.

Arsitektur Candi
Pada dasarnya candi-candi yang terdapat di kompleks candi arjuna memiliki banyak kemiripan, kecuali candi Semar yang memang diperkirakan sebagai candi perwara dari candi arjuna. Sebelum membahas mengenai arsitektur dari candi Arjuna, ada beberapa istilah yang biasa digunakan dalam arsitektur candi, diantaranya sebagai berikut: 
1. Penil, Bentuk Ornamen yang digunakan pegangan yang biasanya terdapat di tangga. 
2. Kala, merupakan makhluk raksasa dengan mata melotot dan juga taring atau juga disebut buto dalam kepercayaan jawa. Ukiran kala di candi biasanya hanya sebatas rahang atas hingga ke atas. 
3. Makara, merupakan binatang-binatang mitos dalam agama hindu 
4. Jalamatra, merupakan saluran air yang berfungsi untuk mengalirkan air yang berada di dalam candi menuju luar candi. 
5. Istadewata, bagian candi dimana dipercaya sebagai jalan masuk dari Sang dewa, terletak di bagian atas candi 
6. Antefik, Ornamen candi yang berada di bagian ujung dari setiap sisi/ujung candi
7. Diksa, Jalur peribadatan yang digunakan untuk mengelilingi candi sebelum memasuki candi utama.
8. Batur, Alas candi dimana biasanya bagian pintu candi terletak lebih tinggi daripada tanah. Dan bagian paling bawah dari candi biasa disebut batur 
9. Bilik Penampil, Bagian yang sedikit menjorok dibandingkan dengan dinding lainya, biasnya terdapat pada pintu ataupun jendela

Arsitektur Bagian depan Candi Arjuna
Candi Arjuna berdenah bujur sangkar berukuran 6×6 m. Candi ini menghadap kearah barat. Candi ini termasuk dalam Kompleks Candi Arjuna, dimana di dalam kompleks candi ini ada 5 candi, Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Candi didirikan di atas fondasi berupa tanah lembut semacam gambut. Fondasi disini maksudnya pemadatan tanah di bawah candi, untuk memperkuat tanah sebelum didirikan candi. Candi Arjuna menghadap ke Barat dimana terdapat tangga menuju pintu masuk candi yang berada di bagian barat candi. Terdapat 8 anak tangga menuju bagian pintu candi dimana di pinggir tangga terdapat penil dengan ujung berkepala naga. Bagian pintu candi terdapat bilik penampil selebar 1 meter. Diatas pintu terdapat ukiran kalamakara. Dan di bagian atap dari ruang penampil berbentuk lancip seperti rumah limas an pada umumnya. Disamping ruang penampil terdapat bilik penampil yang berada di kedua sisi bagian depan candi. Dimana biasanya diletakkan arca dibagian bilik penampil. Namun saat ini arca-arca tersebut sudah tidak ada. Arca-arca di Candi Arjuna dipindahkan di museum kalilasa, yang berada tidak jauh dari komplesk candi Arjuna.

Diatas bilik penampil juga terdapat ukiran kalamakara tanpa rahang yang terlihat melotot. Dibagian samping bilik penampil terdapat bingkai dengan ukiran bunga kertas khas india, sedangkan pada bagian bawah bingkai terdapat ukiran kepala naga. Di bagian utara, timur dan selatan dinding candi terdapat relung yang biasanya digunakan untuk menaruh arca. Namun saat ini arca-arca tersebut juga sudah tidak ada. Diatas relung ini juga teradapat ukiran kalamakara. Serta di bagian sekitar relung teradapat bingkai yang menglilingi relung. Bagian samping relung terdapat ukiran berbentuk bunga kertas. Sedangakna dibagian bawah relung dibingkai dengan ukiran naga dengan mulut menganga. Sedangakan dibawah relung, terdapat jalawara yang terletak di tengah bagian bawah candi Arjuna.

Seperti lazimnya Candi-candi Klasik Tua, kaki candi dihias dengan perbingkaian, demikian pula bagian bawah tubuh candi. Namun Candi Arjuna dan Candi-candi Dieng lainnya tidak memiliki bingkai bulat (kumuda), hanya bingkai rata dan bingkai padma (sisi genta). Dinding tubuh Candi Arjuna dihias oleh 3 relung pada 3 sisinya yang sekarang telah kosong tidak ada arcanya. Bagian atas relung masing-masing relung dihias dengan ragam hias kepala kala tanpa dagu, dan dihubungkan dengan sepasang makara oleh bingkai relung. Pintu candi di sebelah barat, dengan hiasan ragam hias kepala kala pula, dan dihubungkan oleh bingkai pintu dan pipi tangga ke sepasang makara yang di hias oleh burung kakaktua di mulutnya yang menganga. Pintu masuk candi serta relug-relugnya dihiasi oleh Kala Makara.

Bangunan candi terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, kaki candi (Bhurloka), bagian tubuh candi (Bhurwaloka), dan bagian atap candi (Swarloka). Pada tubuh candi tercapat 5 relug. Dua relug terdapat di bagian barat (di kanan dan kiri pintu masuk candi). Serta masing masing satu pada bagian, selatan, utara, dan timur. Dibawah relug terdapat lapik arca, ini menunjukan bahwa dulu arca dewa dan dewi terdapat di dalam relug-relug ini, namun sekarang arca-arca ini sudah tidak ada lagi.

Di bagian utara candi dibawah relug terdapat sebuah saluran air yang berfungsi mengalirkan air dari cerat yoni, sehingga dahulu masyarakat yang melakukan pemujaan diluar candi (kasta selain brahmana) bias menerima air suci tersebut. Saluran ini disebut Jalamatra.

Arsitektur Bagian atap candi Arjuna
Atap candi Arjuna memiliki bentuk seperti pyramid dengan membentuk kerucut tetapi lebih tinggi. Dan semaik ke atas memiliki ukuran semaikin kecil. Terdapat 3 tingkat dimana setiap tingkat memiliki bilik penampil dengan ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan bilik penampil di bagian dinding candi. Semakin keatas bilik penampil juga semakin kecil yang berada tepat di tengah-tengah setiap sisi candi. Disetiap sudut bagian atap candi terdapat hiasan yang memiliki bentuk mahkota bulat dengan ujung runcing. Namun, saat ini hiasan disetiap ujung atap banyak yang sudah rusak. Atap candi terdiri dari tiga lapis (bhumi), ukurannya makin ke atas makin kecil dan di akhiri oleh puncak yang mungkin berbentuk buah keben (ratna). Kemungkinan ini di ajukan setelah melihat hiasan pada sudut-sudut lapisan atap berbentuk replika candi. Kepastian bentuk tidak dapat diajukan, karena atap telah rusak. Puncak candi bukan stupika (dagoba), karena Candi Arjuna dan Candi Dieng secara keseluruhan bersifat agama Siwa, dan bukan bersifat agama Buddha. Bentuk atap Candi Arjuna mirip dengan atap candi gaya India Selatan (gaya Dravida).

Arsitektur Bagian dalam candi Arjuna
Di bagian dalam candi candi arjuna terdapat ruang untuk menaruh sesaji, atau yang biasa disebut dengan yoni. Yoni tersebut berbentuk segi emapt dengan bentuk mirip seperti meja dimana dibagian atas lebih menjorok keluar. Di bagian atas terdapat lubang yang juga berbentuk segi empat dimana lubang ini berfungsi untuk menampug air dari atap candi. Apabila air di lubang ini sudah penuh, air akan mengalir melalui jalur yang sudah disediakan yang dialirkan menuju bagian lingga yang kemudian dialirkan menuju bagian luar candi.

Pada tahun 1924 seorang arkeolog Belanda pernah meneliti Candi Arjuna, dan menurut pendapatnya, ukuran dan bagian-bagian Candi Arjuna jelas mengikuti aturan Vastusastra. Ragam hias sangat sederhana, atap candi dipenuhi dengan ragam hias antefiks (simbar), dan hiasan Kala-makara pada pintu candi dan ketiga relung pada badan candi. Bingkai pintu ini pada bagian bawah dihubungkan dengan pipi tangga yang melengkung pada kiri kanan tangga masuk. Ruangan tengah (garbhagrha) telah kosong, dahulunya mungkin diisi arca Siwa yang mungkin sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Yoni lapik arcanya sekarang masih ada di dalam ruangan. Hal ini juga menunjukan bahwa Candi Arjuna adalah salah satu candi yang paling awal dibangun, karena corak arsitekturnya masih banyak terpengaruh dari daerah asal Umat Hindu yaitu India.

ASAL USUL NAMA BANJARNEGARA DAN SEJARAH BANJARNEGARA

Asal usul Nama Banjarnegara dan Sejarah Banjarnegara Wilayah yang di Juluki Kota Dawet Ayu 


Banjarnegara adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah . Luas wilayahnya yang mencapai 1.069,73 km2 terbagi menjadi 20 kecamatan, 12 kelurahan, dan 266 desa. Dari beberapa wilayah yang dimilikinya itu, Banjarnegara berbatasan dengan beberapa Kabupaten seperti : Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang di sebelah utara, Kabupaten Wonosobo di sebelah timur, Kabupaten Kebumen di sisi selatan, serta Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purbalingga di sebelah barat. 

1.Periode Banjar Pertambakan 

Kabupaten Banjarnegara mengalami tiga periodesasi, dimulai dari Banjar Petambakan (1582-1780) yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang. Pendiriannya berkaitan dengan Raden Joko Kaiman yang merupakan menantu Adipati Wirasaba atau Adipati Wargahutama I. Lalu setelah Adipati Wargahutama I meninggal, Joko Kaiman kemudian melanjutkan pemerintahan di Kadipaten Wirasaba dengan gelar Adipati Wargahutama II. 

Atas izin dari Raja Sultan Hadiwijaya di ajang, Raden Joko Kaiman melakukan pembagian wilayah kekuasaan Wirasaba menjadi 4 wilayah, yaitu : Wirasaba, Merden, Kejawar dan Banjar Petambakan. Diketahui Peristiwa pembagian ini terjadi pada tanggal 6 April 1582 M, oleh karenanya tanggal tersebut kemudian menjadi “permulaan” sejarah pemerintahan Banjar Petambakan. 

Pada periode Kadipaten Banjar Petambakan, pada saat itu telah mengalami pergantian Adipati sebanyak 12 kali masa kepemimpinan. Dari sekian banyaknya pemimpin kota Banjar Petambakan, terdapat beberapa pemimpin yang menjadikan wilayah Kadipaten ini memiliki kemajuan. Pada perode Banjar Petambakan mencerminkan perkembangan social dan ekonomi yang signifikan dalam Sejarah kabupaten Banjarnegara

2. Periode Banjarwatulembu

Periode Pemerintahan Banjarwatulembu berlangsung dari 1780 hingga 1831. Tidak seperti periode Banjar Pertambakan, periode Banjar Watu Lembu hanya diperintah oleh dua masa kepemimpinan saja yakni, KRT Mangunyudo dan KRT Kertoyudo. Periode ini ditandai dengan pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten dari timur ke barat Sungai Merawu, sekitar Balai Desa Banjarkulon. Pada periode ini, hanya ada dua bupati, yaitu KRT Mangunyuda dan KRT Kertoyudo.

KRT Mangunyuda fokus pada pembangunan dan kerjasama dengan Bupati Purbalingga untuk memajukan bidang perencanaan, perdagangan, dan pertanian. Ia juga mengikuti pelatihan manajemen di Surabaya untuk meningkatkan pemasaran produk unggulan daerah seperti gula kelapa. Mangunyuda dikenal sebagai sosok patriotik dan meninggal saat bertempur membela Raja Surakarta, sehingga dikenang sebagai pahlawan.

Setelah KRT Mangunyuda, kepemimpinan dilanjutkan oleh KRT Kertoyudo, yang dikenal sebagai RNg Mangunyudo II, dan kemudian RNg Mangudyudo III atau RNg Mangubroto. Periode Banjar Watu Lembu ini berakhir bersamaan dengan surutnya Perang Diponegoro. Kala itu berakhirnya Perang Diponegoro menghasilkan beberapa perubahan-perubahan konstelasi politik di dalam Keraton dan kekuasaan di daerah. Termasuk pengaruhnya di Wilayah Kilen, yakni Karesidenan Banjoemas yang mencakup Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara.

3. Periode Banjarnegara

Setelah Perang Diponegoro, pada 22 Agustus 1831, Gubernur Jenderal menetapkan KRT Dipayuda IV sebagai Bupati Banjarnegara. Peristiwa ini diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara.

Namun, ada pihak yang mengajukan keberatan untuk menjadikan Hari Jadi pada momen lebih tua, seperti Peristiwa Mrapat atau Peristiwa Mangunyuda Sedoloji. 

Nama Kabupaten diubah dari Banjarwatulembu menjadi Banjarnegara setelah proses meditasi spiritual. Kemudian ibu kotanya juga dipindahkan ke selatan Sungai Serayu. Setelah permintaan itu dikabulkan, maka mulailah pembangunan kota atau kabupaten yang berada di sekitar persawahan. Untuk mengenang asal mula kota kabupaten baru yang terbentul dari lokasi persawahan itu, maka wilayah barunya tersebut diberi nama “BANJARNEGARA” (MEMPUNYAI MAKSUD Sawah = Banjar, berubah menjadi kota = Negara) sampai sekarang. 

KRT Dipayuda IV menjalankan pemerintahan dengan dibantu pejabat lainnya, seperti Mas Cakrayuda sebagai Patih dan Mas Mangunyudo sebagai Kliwon. Setelah KRT Dipayuda IV, beberapa bupati melanjutkan pemerintahan, termasuk KRT Djayadiningrat dan KRT Joyonegoro I, hingga penjabat bupati terakhir yang dilantik pada Mei 2024 kemarin, Muhamad Masrofi.


Sebagai informasi lanjutan, untuk hari jadi Banjarnegara terdapat perubahan. Yang sebelumnya pada tanggal 22 Agustus 1831 menjadi 26 Februari 1571, ditetapkan berdasarkan penelusuran dan pengkajian dokumen sejarah dan studi komparasi yang dijadikan dasar perubahan hari jadi Kabupaten Banjarnegara. Penelitian yang dilakukan oleh sejarawan, Profesor Sugeng Priyadi, menjadi gagasan penting bahwasanya kelahiran Kabupaten Banjarnegara berkaitan dengan sejarah nenek moyang, bukan berdasarkan kolonialisme. Perubahan ini berdasarkan pengkajian pada Babad Kalibening yang menjadi sumber sejarah masyarakat Banyumas.


Pada 22 Agustus 1831 silam, kekuasaan Belanda secara administratif mulai berlaku di wilayah Banjarnegara. Hal ini dibuktikan dengan adanya Resolutie Governoer General Buitenzorg pada 22 Agustus 1831, yang dianggap sebagai dasar penetapan hari jadi Kabupaten Banjarnegara di bawah kendali kolonial Belanda. Perubahannya menjadi 26 Februari, dilatarbelakangi peristiwa terdahulu pada Babad Banyumas ketika Raden Jaka Kaiman yang diangkat oleh Sultan Panjang menjadi Adipati Warga Utama II menggantikan mertuanya, Adipati Warga Utama I dengan gelar Adipati Wirasaba IV.

Pada Babad Kalibening yang juga merupakan sumber sejarah Banyumas, disebutkan bahwa pada Senin Pon 1 Syawal 978 Hijriah bertepatan dengan 26 Februari 1571. Setelah menobatkan menantu Adipati Wirasaba, yaitu Raden Joko Kaiman, Sultan Pajang membagi wilayah Kadipaten Wirasaba menjadi 4 Kadipaten yang meliputi Kadipaten Banyumas, Kadipaten Pamerden, Kadipaten Wirasaba, dan Kadipaten Banjar Petambakan (Banjarnegara). Bersamaan dengan pembagian wilayah tersebut, Raden Joko Kaiman mendapatkan gelar Adipati Mrapat (mara papat: membagi empat).


Prof. Dr. Sugeng Priyadi, Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiah Purwokerto, berpendapat bahwa gagasan pembagian wilayah tersebut diungkapkan Joko Kaiman pada 1 Syawal 978 H atau 26 Februari 1571. Pembagian wilayah tersebut sebagai dasar awal penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Banjarnegara.

Berdasarkan kajian mendalam mengenai sejarah yang dilakukan oleh Pansus DPRD Banjarnegara, peraturan daerah nomor 3 tahun 1994 yang menetapkan hari jadi Kabupaten Banjarnegara pada tanggal 22 Agustus 1831 tidak berlaku. Sejalan dengan pencabutan perda tersebut, sebagai gantinya diterbitkan peraturan daerah Kabupaten Banjarnegara nomor 6 tahun 2019 tentang Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara yang menetapkan hari Senin, 26 Februari 1571 sebagai hari jadi Kabupaten Banjarnegara. Untuk selanjutnya, dilakukan peringatan setiap tanggal 26 Februari. Peraturan tersebut resmi diberlakukan pada peringatan hari jadi Banjarnegara Ke-449 pada 26 Februari 2020.

SEJARAH DAWET AYU

 Sejarah Dawet Ayu  Dawet Ayu adalah minuman khas dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Minuman ini mudah ditemukan di pasar-pasar tradisional dan...